Fenomena Sosial di Era Digitalisasi
BERPIKIR PUN JUGA HARUS DINAMIS
- Get link
- X
- Other Apps
BERPIKIR PUN JUGA HARUS DINAMIS
OLEH
EKALAYA IRPAN PAMUJI,S.Sos
Gelap gulita menandakan malam atau pun tak tampak cahaya, dikejauhan suara tupay dengan kerasnya..... treeeeett. Treeeeet...... menandakan sang surya mulai tenggelam menandakan di kegelapan malam.
Anak- anak desa dengan semangatnya pergi mengaji membawa obor dengan bahan bakar minyak tanah untuk menuntu ilmu agama demi keselamatan dunia dan akhirat.
25 tahun berlalu tepatnya Era 90.. lampu – lampu tempel menghiasi dinding ditas meja untuk menambah indahnya suasana di pedesaan,. Maklum belum ada genset apalagi listrik. Ketika bulan purnama tiba saat itulah anak-anak merdeka bersatu dengan alam memaikan berbagai permainan yang terkenal dizamannya.
Iya!, Krui ku tercinta saat itu bermain sasegoan ( Petak umpet ) dimana antara satu anak dengan anak yang lain mencari tempat persembunyiannya. Ada yang bersembunyi dibalik pintu rumah, ada yang bersembunyi di pohon besar dan ada juga bersembunyi di semak-semak. Itulah zaman ku penuh canda dan tawa tanpa tipu daya. Kesederhanaan dan kesetia kawanan.
Era 90 adalah era dimana belum mengenal Gawai, HP, blegbery atau Smartphone. Komunikasi yang penuh kesederhanaan bercerita tentang suburnya tanahku, luasnya sawah ku, cantiknya pemandangan suasan pantai ku. Mencerminkan kepribadian yang bersahaja tanpa embel apa-apa, apalagi sikap kemunafikan.
Kini keadaan sudah berubah bahkan dinamika kehidupan pun juga ikut berubah.
Seiring perkembangan zaman masyarakat desa pun juga tentunya juga ikut berubah. Namun, apakah realitas demikian ? perubahan sosial juga harus dituntut dengan lonjatan berpikir dan berbagai inovasi pembangunan desa.
Namun sayang yang menjadi hambatan terbesar dalam membangun desa adalah SDM yang masih berpikir kultur, kurang berpikir kritis serta sulit terbuka dalam membuka diri serta membuka pola pikir yang dinamis.
Tidak bermaksud untuk menjust cara berpikir seseorang atau sekelompok masyarakat. Yang menjadi tantangan kedepan khususnya masyarakat desa masih terjebak dalam berpikir budaya dan kebiasaan. Sedangkan kebutuhan hidup, tantangan hidup semakin kompleks.
Mengapa hambatan itu bisa terjadi dan apa saja contoh sederhananya. Misalnya masih banyak para petani dalam memberantas hama tikus cukup menyiapkan sesajen atau nangguh ( minta izin dengan penunggu ) . Hal hasil bukanya hama tikus berkurang justru padi-padi disawah semakin rusak dimakan tikus.
Pemikiran kultur inilah yang menjadi, hambatan dalam progres baik dibidang pertanian maupun progres pembangunan dibidang yang lainnya.
Masih banyaknya masyarakat desa terjebak dalam berpikir kultur, bukan berpikir rasionalis, analitis maupun objektif.
Lalu apa yang salah, tentu ini adalah hal cara berpikir atau Mindset sesorang.
Jika kita membaca berbagai sumber tentang mindset. Ada beberapa pengertian mindset menurut para ahli;
Gagasan mengenai mindset pertama kali dikemukakan oleh Psikolog Universitas Stanford, Carol Dweck pada 2006. Dweck membandingkan keyakinan yang berbeda tentang dari mana kemampuan orang berasal. Menurutnya, keyakinan memiliki peran penting dalam apa yang diinginkan dan apakah keinginan itu akan tercapai. Carol dan rekan-rekannya lebih dari 30 tahun lalu menjadi tertarik dengan sikap siswa tentang kegagalan. Mereka memperhatikan bahwa beberapa siswa bangkit kembali, sementara siswa lain tampak hancur bahkan oleh kemunduran terkecil.
Setelah melakukan beberapa penelitian, Carol memberikan bukti bahwa kunci cara berpikir, merasa, dan berperilaku bukan tentang kemampuan, tetapi keyakinan orang tentang kemampuan mereka. Kemudian Carol menciptakan istilah mindset tetap dan mindset berkembang untuk menggambarkan keyakinan mendasar yang dimiliki orang tentang pembelajaran dan kecerdasan. Sumber https://www.merdeka.com/jateng/mindset-adalah-pola-pikir-berikut-penjelasan-lengkapnya-kln.html.
Jadi jika kita simpulkan bahwa kegagalan panen raya oleh hama tikus bukan semata-mata karena hama tikusnya. Namun, bagaimana seorang invidu menyikapi setiap permasalahan dengan kritis, analitis agar tindakan seorang petani menjadi realistis. Bukan semata-mata pendekatan kultural.
Maju Petaniku
Comments
Post a Comment