Fenomena Sosial di Era Digitalisasi
LENTERA YANG PADAM
- Get link
- X
- Other Apps
LENTERA
OLEH
EKALAYA IRPAN
PAMUJI,S.Sos
Waktu terus berjalan, hari berganti, bulan pun bersinar,
tahun pun berganti. Mendidik diibaratkan seperti putaran waktu. Selalu berubah
perdetik. Ada masa menyenangkan, ada pula masa menyakitkan. Mendidik adalah
jiwa bagi seorang guru. Ia lahir dari hati yang paling dalam. Tak mengenal
waktu, tak mengenal tempat, ia selalu berbicara tak kala hal yang tidak pantas
ia temukan.
Di Era Pandemi ini sudah nampak terasa bahaya latin yang
tersembunyi pasca belajar ala Daring. Ganguan sikis dialami sebagian Peserta
didik. Mulai dari sikap malas, ketidak hadiran
siswa terkadang diambang batas,
bolos, lompat pagar, bahkan rasa hormat dan menghargai guru sudah pudar.
Kata miris dan kwatir tidak cukup diresapi didalam hati, itu pun jika ada rasa dalam jiwa. Guru adalah
sebuah kata yang sangat mulia. Ia adalah sosok seseorang yang dijadikan
tauladan dan panutan.
Berkaca dari kegiatan KBM yang sudah dilaksanakan dalam
semester Genap ini, nampak nyata dan membekas dalam lara. Mengapa bisa terjadi.. pemandangan umum
peserta didik memparkirkan motornya di
luar lingkungan sekolah. Dengan mudah agar memudahkan niatnya peserta didik
pulang belum waktunya. Lompat pagar lalu kabur dengan mudahnya, seperti tanpa
beban dan dosa.
Bukan pihak sekolah membiarkan atau tidak ada tindakan. Hari –
hari kesiswaan mengempeskan roda ban yang parkir sembarangan. Ditambah lagi
cara berpikir oknum masyarakat luar kurang mendukung program kesiswaan.
Dilematis, miris melihat keadaan ada sebagian guru
mengkambing hitamkan tugas kesiswaan, ada lagi oknum guru hanya NATO ( No
Action talk Only ). Serba kompleks..
bagi saya ini adalah sebuah tantangan kebetulan ini adalah tugas saya selaku
kesiswaan. Kompor mengompor jadi bola panas dalam tindakan. Foto dan memposting
kesalahan siswa menjadi Es krim dikala
dahaga. Bukanya menyelesaikan masalah bahkan memperkeruh masalah.
Sinyal tak sehat ditangkap Kepala Sekolah. Woro woro di Whatshaps pun melayang. Yang pada
intinya setiap permasalahan siswa tidak usah diumbar. Perlu penangangan
perjenjang bukan posting memposting menjadi tolak ukuran.
Saya sadar selaku kesiswaan amat berat menghadapi
kompleksitas permasalah kesiswaan. Wajar 730 siswa dan ada 21 rombel di
sekolah kami. Walaupun demikian, tentu
sistem kesiswaan sudah ada baik masalah penangangan siswa maupun Tata tertib siswa
yang diwujudkan melalui Buku Kendali Siswa. Media maupun sistem kesiswaan sudah
dibuat. Namun itu tidak cukup dalam keadaan normal dan wajar.
Kini masa pasca pandemi atau pasca pembelajaran ala Daring. Nampak
nyata terasa dialami sekolah kami. Butuh ekstra kuat, serta kerja sama yang
solid dalam masalah kehadiran alias lemahnya motivasi belajar dan kesadaran
siswa untuk mematuhi tata tertib sekolah.
Kesiswaan
dan BK bahu membahu dalam langkah dan tindakan nyata. Ditambah bersama wali
kelas memberikan efek jera berdasarkan SOP penangan siswa. Mulai dari nasehat,
panggilan orang tua 1, 2, dan 3 adalah
pinal dalam pengembalian orang tua. Langkah jitu diperlukan dalam setiap
tindakan. Tidak mempan dalam memberikan nasehat, himbau, seperti ada telingga
kadang tidak mendengar itu yang terjadi pada beberapa oknum peserta didik,
Setelah diberlakukan sekolah Anti Perundungan disekolah kami,
kami sadar tindakan kekerasan tidak menyelesaikan masalah. Namun nampak jelas
perbedaanya, banyak siswa belum sampai pada tarap berpikir rasionalalitas,
masih banyak berpikir kultural. Ada beberapa wilayah atau desa cara penangan
siswa harus dengan pendekatan keras, dibentak, dimaki jika perlu dengan
kontak fisik. Nah!, jika sudah terjadi ,
baru beberapa siswa yang berada di daerah tertentu. sadar bahwa hal yang dilakukan itu salah atau melanggar aturan.
Lalu pertanyaan saya selaku kesiswaan. Sampai kapan mindset
siswa berubah? Sedangkan waktu berjalan... dilematis dan si mala kama.
Bagaiaman
jika oknum guru melakukan tindakan kekerasan.. bukan berarti saya mendukung
kekerasan. Tentu semua pihak menyalahkan oknum guru tersebut, dengan kata
viralkan, perkusi. Namun, enth itu lembaga, orang perorangan atau kelompok
masyarakat tidak mau peduli ”akar
masalah “ yang dihadapi oleh setiap permasalah guru. Permasalah siswa seperti “Gunung Es” nampak
sedikit dipermukaan. Namun, dalam didasar perut bumi. Guru kini terbatas ruang
gerak dalam bertindak dalam menyikapi moral, sopan santun. Cukup kata nasehat
dan bimbingan dan arahan. Jika butuh bimbingan arahkan saja ke ruang BK. Tidak ada ditinggalkan namun dipindahkan..
jika orang tua sadar maka orang tua siswa mengajukan permohonan mengundurkan
diri jika siswanya tidak bisa mengikuti tata tertib sekolah.
Miris dan menangis, “ kita bertarung dengan keadaan.”. jika saya selaku orang tua pada saat saya menangani
siswa yang bermasalah. Kadang saya memposisikan saya selaku orangtua siswa. Namun,
SOP penangan siswa terkadang diambang tolerasi mengingat pasca pandemi.
Namun, kita sadar sebagai pendidik dan sebagai orang tua didalam rumah tangga. Tugas
kita adalah sama-sama menjaga ektapet masa depan keluarga. Entah berapa kata yang terucap untuk
membangun anak bangsa, dalam ketidak tahuan, dalam melepaskan belenggu
kemalasan.
Pondok pesantren pertama adalah keluarga ( ayah dan ibu ),
setelah itu adalah sekolah. Jangan menanggap semua baik-baik saja. Bapak ibu
orang tua wali murid. Mereka 8 jam di lingkungan sekolah. Di luar lingkungan sekolah ada teman
bermain, teman sekolah, ada gudjet di
tangan mereka, ada lingkungan yang
memberikan warna setelah lingkungan sekolah.
Semoga guresan hati ini ada yang mendengar, baik orang tua ,
lembaga perlindungan anak, atau LSM
yang terkait. Bapak ibu, Peserta didik adalah ekstapet keluarga bahkan bangsa. jika Bapak / Ibu guru melakukan tindakan
tegas dalam penanganan moral, sopan santun terhadap peserta didik yang di indikasikan
kekerasan. Tolong jangan di perkusi atau di goreng dimedia massa. Namun, cukup
di tangani oleh Dewan kehormatan Guru. Kecuali
jika masalah atau pelanggaran mengenai pelecehan seksual hal itu ditindak tegas
oleh pihak kepolisian.
Comments
Post a Comment