Fenomena Sosial di Era Digitalisasi
KEHILANGAN MAKNA BELAJAR
- Get link
- X
- Other Apps
KEHILANGAN MAKNA BELAJAR
Oleh
Ekalaya Irpan
Pamuji,S.Sos
Belajar adalah hal yang penting dalam proses pendidikan.
Dengan belajar peserta didik bisa mengenal berbagai ilmu pengatahuan dan teknologi. Belajar selalu diidentikan dengan keberhasilan
seorang Guru. Guru yang baik adalah yang
mencontohkan, guru yang cerdas mempraktekkan. Kualitas Peserta didik selalu
berkolerasi dengan bagaiamana seorang Pendidik mengajar, mendidik, dan
membimbing.
Sudah 2 tahun berlalu masa Pandemi Covid-19 masih menghantui
disekitar kita. Mengajar ala daring atau istilah kerennya adalah PJJ sudah
dilalui selama 1,5 ini. Mulai dari
dengan aplikasi Whatshapp, classroom sampai dengan google meet atau zoom
meeting.
Namun, dibalik cerita atau dibelakang layar tentang PJJ
banyak kisah laten yang tersembunyi dalam metode tersebut. Mulai dari siswa
yang hadir hanya 10 siswa atau bahkan 3 sampai dengan 4 siswa. Belum lagi
kendala koata dan lemahnya kesadaran siswa dalam berpartisipasi aktif dalam
kegiatan KBM ala Daring tersebut.
Lalu apa yang terbesit dalam siswa ketika PJJ ini. Jika dikota-kota
besar berbagai fasilitas dan kemudahan bisa memberikan angin segar bagi peserta
didik khususnya diwilayah Ibu Kota. Meskipun disana sini banyak pristiwa yang
meyayat hati tentang PJJ diwilayah perkotaan. Pengorbanan orangtua untuk
membeli Smartphone terhadap putrinya dengan berbagai cara yang diperjuangkan
oleh orangtua. atau belum lagi cerita tentang tingkat stress Ibu-ibu yang
menjadi guru dirumah bagi putra-putrinya. Yang selalu memberikan sebuah
pelajaran berharga tentang arti nilai perjuangan seorang Guru.
Tarik napas dan hempuskan secara berlahan.. itulah beberapa
kisah tentang PJJ dibeberapa tahun yang lalu. Bagaiamana dampak psikis dan
sosiologi bagi Peserta Didik diwilayah perdesaan. Yang jauh dari keramaian,
serta minimnya faslitas pendukung, serta maindset orang tua yang menjadi
tantangan tersendiri bagi guru diwilayah pedesaan. Ketika walikelas bersama BK Home Visit.
Banyak cerita yang mengeliti perasaan serta terkadang menahan emosi.
Si iwan nama samaran sebagai Wali kelas dan si santi sebagai BK. Mengunjungi siswa
yang sudah beberapa hari Alpa. Sesampai dirumah bertemulah dengan orang tua
siswa. Assalamualaukum Bu!, apa kabar bu? Pungkas iwan selaku Wali kelas.
Kepada ibu Ridwan yang sudah beberapa hari tidak masuk sekolah.
“Ibu Ridwan”!, mohon maaf kami dari perwakilan sekolah mau
menayakan ridwan kenapa rindawan tidak sekolah. Ya bu!, apa gerangan. Padahal
hari ini kan Ujian Sekolah. Dengan mudahnya Ibu Ridwan menjawab. Ooohh.. kata
Ridwan dia kehujanan lalu Ujian bisa disusul besok. Pungkas Ibu Ridwan menjawab
dengan Pdnya.
Pak Iwan langsung kaget. Apa.... bisa Ujian susulan!. Sambil
menahan Emosi dan menarik napas. Ibu Ridwan!, hari ini Ridwan Ujian Sekolah
Ibu!. Mana ada Ujian Sekolah bisa susulan. Sambil bersipu malu Ibu Ridwan.. ohh
maaf Pak Ridwan.
Ada pepatah mengatakan lain lubuk lain ikannya. Setiap
sekolah memiliki nilai dan norma yang berlaku, memilki budaya organisasi yang
berbeda. Serta memiliki karakter siswa yang berbeda serta berbagai corak
perangainya. dizaman Digital ini tantangan guru sangat luar biasa. Selain
mengajar mendidik adalah hal yang terpenting dalam menumbuh kembangan karakter
peserta didik. Namun dibalik itu semua tangangan dan rintagan menghadapi suatu
zaman, suatu keadaan yang luar biasa cepat perubahannya. Diera 90 guru masih
bisa mendidik secara keras dengan maksud tujuan pembelajaran bisa tercapai.
Cuba kita ingat masa SD. Ketika 10 menit sebelum bel berbunyi, biasanya guru
memberikan soal quis. Misalnya dari perkalian, pembagian, sampai pengurangan.
Bagi siswa yang bisa menjawab langsung pulang. Bagi siswa yang belum bisa .
biasanya aga terlambat pulang dan bahkan menjadi bahan tertawaan. Tetapi itulah
dulu... walaupun dulu jiwa kompetitif sudah ditanamkan..tanpa sadar lho...
Bagaimana dengan wajah mendidik siswa zaman
sekarang... waduh.. banyak aturan main.. sudah seperti main badminton, atau
main sepakbola. Terlalu banyak wasit dalam satu gelangang. Tetapi kadang
wasitnya salah masuk gelangang.
Wajah karakter siswa sekarang berbeda. Tidak cukup dengan
kata sopan atau santun..misalnya disuruh memasukan baju saja seperti pelayan
restoran gurunya...
Belum
lagi telat atau datang terlambat seperti anak pejabat.. alasannya sih!,
kesiangan gara-gara main game semalaman. Mau marah takut kekerasan .. apalagi
bentak—bentak.. Cuma kta sabar!!! Sabar!!. jika dibiarkan tidak tahu cara
mengambil sikap. Memang bukan tugas guru untuk merubahn 180 derajat prilaku
siswa. Namun, tugas seorang guru meluruskan moral dan sikap.
Guru sekarang terkadang dilematis
jika mengambil sikap apalagi berkaitan dengan kesalahan, kelalaian, ketidak
sopanan, atau kurang ajar, atau kurang pengatahuan, korban broken home. Yang
intinya siswa memang benar-benar diperhatikan. Tetapi ingat guru juga manusia..
bukan seorang malaikat atau peri cantik rupawan yang datang dari kayangan yang
selalu menjelma seperti ditaman-taman surga.
Saya juga sadar bagian dari perubahan
paradigma. Kebetulan Fasilitator Agen Perundungan dan kekerasan berbasis
sekolah. Tetapi yang menjadi titik fokus adalah bagaimana seorang guru mendidik
siswa zaman sekrang ala Milenial... inilah yang menjadi PR terbesar kita..
bukan hanya antar siswa yang menjadi agen perubahan.
Tetapi
kolaborasi dan perubahan paradigma pola mendidik anak dan penangan kasus ala
milenial belum terkoneksi secara menyeluruh...
Jadi learning lose menurut pandangan saya adalah sebuah
peristiwa yang diakibatkan sebuah kondisi yang diakibatkan lamanya ketidak
efektifan dalam proses KBM, atau ketidan mampuan dalam beradapatasi dalam
menghadapai situasi pandemi yang sifatnya secara menyeluruh secara kelembagaan,
bukan hanya sekedar sikap orang perorang. Namun sudah menjalar segala lini.
Indikator Learning lose:
1)
Kehilangan
semangat belajar
2)
hilangnya
orientasi kedepan
3)
kehilangan
kualitas pembelajaran
4)
banyak
siswa putus sekolah
5)
tingkat
kehadiran siswa diambang batas
6)
serta
ketidak pedulian orangtua atau walimurid
7)
korban
broken home
8)
lingkungan
yang egois
Comments
Post a Comment