Fenomena Sosial di Era Digitalisasi
- Get link
- X
- Other Apps
Pakaiannya tidak
berbalut seragam, namun jiwanya adalah Pahlawan
Oleh: Ekalaya
Irpan Pamuji,S.Sos
Suara
berkokok ayam dikala sang surya menyinari pagi. Embun-embun pagi mulai nambak
sirna dengan teriknya matahari pagi menyuarakan akan kerinduan senyuman. Senyum
akan datangnya sinar. Menyuarakan akan makna pagi roda-roda kehidupan akan
nampak. Para nelayan bergegas bersuka
cita penuh harapan suara gelombang serta demburan ombak memberikan isyarat
bahwa. “Carilah rezeki mu di bentangan Samudera sejauh mata memandang” .
Kicauan
burung kercici memberikan isyarat akan tanda kehidupan. Wahai anak Adam cari
rezekimu penuh dengan semangat. “Diriku kecil bersayap dan ditunggu anak-anakku yang hendak makan
dipagi ini”.
“Isyarat
mentari adalah sinar kehidupan. Begitupun ia adalah sosok raja dalam keluarga.
Keluar rumah belum sempat mentari meyinari. Apalagi sarapan pagi. Ia adalah
sosok yang berwibawa . Tarikan gas, sesetel jaket untuk menyelimuti dinginnya
pagi serta helm untuk pelindung kepala.
Hari-hari
ia pergi untuk mencari rezeki. Jarak tempuh yang ia lewati entak sudah berapa
Kilo meter?. Jalan terjal kerikil, bebatuan, pegunungan, pinggiran sungai
bahkan jalan setepakpun ia lalui. Sesekali ia menghela nafas. Kala itu
menghantarkan seseorang ke wilayah Bengkulu. Awalnya perjalanan tidak jauh dan
jalanan baik. Pungkasnya dalam kenangan kisah perjuangan!”.
Setelah
dipersimpangan jalan dengan bekal nekat serta percaya. Berjalan setapak dengan
suasana hujan deras serta tanah liat yang begitu lengket membuat sulit akan
jalanya roda dua. Terkadang jatuh, lalu bangkit lagi terpaksa didorong
agar tidak jatuh. Suasa hati sudah gelisa apalagi ditengah hutan
belantara.
Sesampai
ditempat yang dituju, penumpangku pun mengeluarkan beberapa lembar rupiah.
Bertanda jasapun sudah terbayar. Terima kasih ya mas!. Sudah menghantarkan saya
jauh-jauh. Wajahkupun sudah merah bertanda marah. Namun, ‘dalam benakku cukup
hanya ini pengalaman pil pahitku kutelan’. Ku jawab dengan spontan “ia mas,
sama-sama. Pungkasku kepada penumpaku”.
Susana
hari sudah mulai nampak gelap. Ku gas tarikan motorku lalu berjalan dengan
santainya. Bertanda energiku sudah nampak lelah. Akibat naik turun gunung yang
tidak pernah kulewati perjalanan sebelumnya. Pungkas ku dalam cerita antara
Paman dan Keponakan dalam sela-sela berbagi pengalaman pahit kehidupan.”
Kini
ayahku, tetap tegar mengais rezeki untuk menghidupi keluarga serta berpacu demi masa depan anaknya. Yang
tertua sudah selesai menempuh gelar Kesarjanaan di salah satu Perguruan Tinggi
Negeri di Provinsi Lampung.
Kini,
ditambah lagi adikku yang masih kuliah.
Tanggung jawab yang ayah pikul semakin berat. Usia tidak muda lagi. Apalagi ia
sering mengalami pembengkangan sendi. Menangis hatiku melihat berjuangan ayah
demi masadepan anak-anaknya.
Tugasku
adalah berjuang sama halnya dengan sosok ayahku tegar bagaikan batu karang di lautan.
Tak nampak mengeluh dan berkeluh kesah. Ayah..sambil ku menangis dalam doaku
dalam kesunyian malam. Demi anakmu engkau rela pulang malam. Entah sudah berapa
ribuan kilo meter yang engkau lalui..dinginnya angin, panasnya terik matahari,
cucuran keringat engkau tidak hiraukan demi anak-anakmu yang engkau cintai.
Ayah engkau adalah pelita dalam keluarga, sosok
yang tegar dan bersahaja. Kupersembahkan bait-bait cinta dalam suara hati puisi
pengugah jiwa :
Comments
Post a Comment