Fenomena Sosial di Era Digitalisasi
Kerinduan Tanah kelahiran dan Kampung Halaman
- Get link
- X
- Other Apps
Kerinduan Tanah kelahiran dan Kampung Halaman
Oleh : Ekalaya Irpan
Pamuji,S.Sos
Kala
itu sang fajar mulai tenggelam, terdengar suara knalpot roda empat
broooommm.... brom... hingar bingarnya kesibukan pinggiran kota. Berhentilah
sebuah mobil taksi berwarna putih. Ku sambut dengan riangnya nenek datang..
kakek datang.
Kala
itu tepat Pukul 15.30 Wib di wilayah pinggiran kota Bekasi Barat, dengan senyum
nampak sumringah akan kerinduan seorang cucu dengan kakek dan nenek. Usiaku kala itu baru beranjak 8 tahun. Anak
tertua dari dua bersaudara. Kami tinggal di kontrakan kecil dan sederhana.
Suara
Kereta Api mengiringi kebisingan pinggiran kota.. bercerita tentang kesibukan,
tentang perjuangan, tentang kerinduan. Entah berapa banyak mereka yang berjuang
demi keluarga ! mencukupi kebutuhan keluarga atau membiaya orangtua yang sakit
renta demi meyambung nasib di perantauan.
Masih
teringat waktu itu, ketika sore sudah mulai gelap. Diriku disibukan bermain ria
dipinggiran rel kereta api. Maklum waktu itu usiaku masih 8 tahun. Ya artinya
masih anak-anak. Jiwa bermain dan selalu happy itu adalah prinsipku waktu itu. Bentangan sawah masih menghijau anak-anak bermain dipinggiran sawah dengan
seekor kerbau. Bercerita akan makna kehidupan.
Bekasi
di Era 90 an masih asri dan tentram. Belum begitu banyak proyek perumahan.
Suatu hari waktu itu, saya belum pulang. Waktu itu gelap sudah mulai datang. Sehingga dicari oleh kakek hingga telinga
dicewer. Ayo pulang!, hari sudah mulai malam.
Kehidupan
di Kota Bekasi kala itu bermain layang – layang di hamparan sawah luas
terbentang belum banyak pemukiman penduduk apalagi perumahan Elit. Ya!, kala
itu peternak kerbau juga masih ada dibawah rel kereta api. Di iringi suara
bebek gemuruh ria gembira. Seperti seorang gembala. Bermain bersama teman-teman
dihamparan luas persawahan.
Kini wajahmu
berbeda. Seperti kota Metropolis sibuk seperti kehidupan kota Jakarta. Hingar bingarnya
suasana kota menambah macet setiap sudut jalan kota. Ia sepengkal kisah masa
kecilku di pinggiran kota. Setelah 8 tahun disana dari tahun 1983 hingga 1991 .
kini ku hijra ke kampung halaman orang tua.
Ada perbedaan
menjolok antara kehidupan kota dan desa masih di Era Tahun 1991. Penerangan listrik masih minim. Nonton
TV cukup satu kampung 1 unit TV dengan bermodalkan casan aki. Istilahnya
nobar zaman sekarang. Riuh suasana dengan semangatnya. Film yang terkenal kala
itu “ Sengsara membawa nikmat”. Dengan kisah yang menarik serta alunan
soundtrak lagu minang yang khas membawa khusuk bagi para penontonnya, termaksud
saya kala itu. Siti Nurbaya dan Madun sebagai aktor. Serta Datuk Maringih
sebagai Peran Antagonis yang menambah suasana hangat.
Kembali
membuka lembaran masa lalu yang tidak bisa tergantikan dengan kebersamaan,
dengan kekompakan, dengan riuh suasana
jika casan api habis. Maklum!, satu
kampung 1 unit TV. Itupun hitam putih
warnanya.
Jika malam
pun tiba, bersiap-siap lampu tempel dengan kepulan asap yang menambah
kehangatan malam. Jangrik-jangrik mendesir..dengan lantangnya
bersuara..krik..krik.. entah benar atau salah suaranya. Yang jelas menambah kesunyian
malam. Jika besok pagi pun tiba waduh terkadang disela-sela hidung aga berwarna
hitam. Suasana desa di kala malam tiba.
Antara kehidupan
kota dan desa. Namun, banyak pelajaran
yang berharga disetiap masa, disetiap waktu dan kesempatan. Banyak cerita dan
peristiwa yang diambil pelajaran untuk kehidupan kedepan. Kini sudah berubah
kehidupan masa kecil penuh dengan kekompakan dan kebersamaan . namun kini larut
dalam keindividuan, ya larut dalam gadgetnya, larut dengan smarthponenya. Mungkin
kata pepatah mengatakan ‘setiap orang ada masanya, setiap peradaban ada
kejayaannya’.
Bersambung
.
# Part 1 Kerinduan Tanah
kelahiran dan Kampung Halaman #
Sisa-sisa Rantauan Bekasi
– Krui. 1983 sd 1991
Comments
Post a Comment